Selasa, 23 Oktober 2007

Seminar Evolution of ABA

By Toby Mountjoy di Indocare 29 September 2007
BAGIAN 1
Setiap anak selalu start dari kemampuan dasar (skill) yang sama saat mereka lahir. Anak autis akan tertinggal dan makin tertinggal seiiring dengan waktu.
Agar gap ketertinggalan anak autis bisa dipersempit, maka ada beberapa faktor yang berperan:
1. Cognitive/Kognitif
2. Early intervention/Intervensi Dini
3. Intensive/Intensif
4. Consistent/Konsisten
5. Quality/Kualitas

Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil dari intervensi ASD:


Early Intervention
Semakin dini, akan semakin baik prognosisnya, gap “tertinggal”nya kemampuan antara anak ASD dan anak NT akan dapat diperkecil.

Intensive
Salah satu kunci sukses penanganan anak autis adalah intervensi yang dilakukan secara intensive. Target 30 jam sepekan atau sekitar 4-5 jam sehari.

Consistent
Semua pihak yang akan terlibat dalam penanganan anak autis harus menggunakan pendekatan yang sama (menerapkan nilai-nilai, aproach dan instruksi). Semua pihak harus bekerja sama sebagai suatu tim untuk mencapai goal yang sama yang diketahui oleh semua pihak yang terlibat.

Quality
Qualitas dari program, kurikulum dan tenaga terapis adalah kunci sukses lainnya. Supervisi dan pelatihan untuk tenaga terapi harus dilakukan secara baik dan memadai karena skill untuk menyusun program dan menerapkannya memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Sehingga orang-orang yang akan merancang program & kurikulum harus terdidik, terlatih dan keep updated terhadap new technic, approach dll. Siapa yang mendesign program, siapa yang melakukan terapinya dsb. Banyak pihak yang hanya mempelajari ABA dari seminar satu hari, kemudian sudah mengaku menguasai ABA.

Cognitive
Setengah dari keberhasilan penanganan anak autis ditentukan oleh cognitive yang dimilikinya.
CBT VS ABA

Apa beda CBT dengan ABA
Banyak orang yang hanya mempraktekkan secuil dari ABA, padahal sebenarnya ABA sangat luas dan penggunaannya-pun tidak terbatas hanya untuk autisme, tetapi bisa juga untuk gangguan dan masalah-masalah perilaku lainnya, misalnya alcoholic. ABA saat ini digunakan dengan berbagai/metode dan teknik serta merupakan treatment untuk autism yang sudah terbukti secara ilmiah.

CBT (Contemporary Behavior Therapy)
Lebih banyak menggunakan setting natural, penekanan pada kurikulum individual dan learning opportunities/peluang belajar menggunakan minat anak. Prizant and Wetherby secara khusus mengidentifikasikan Autism Partnership (AP) sebagai percontohan dari pendekatan ini, oleh karenanya kemudian AP mengadopsi nama CBT sebagai pendekatan mereka.


Traditional ABA
Eliminate distraction
Identical instructions
“Look at me”
Exclusive 1:1
Food Reinforcers
Wrong wrong prompt
10 trials sessions
Mass trials

Contemporary Cognitive Behavior/CBT
Most natural possible
Varied instructions from the beginning
Self directed attention*
Combined format
Activities, toys
Prompt as necessary
Depends on task and child
Discrimination

Eliminate distraction vs Most natural possible
Dalam ABA, ruang terapi dibuat sedemikian rupa agar tidak banyak pernak-pernik yang akan mengalihkan perhatian anak saat di terapi. Dindingnya bersih dari gambar, tidak banyak mainan, dll. Dalam CBT, ruang terapi dibuat senatural mungkin. Kalau sedang belajar mengenai makan, lakukan di ruang makan. Belajar sayur dan buah-buahan di lakukan di dapur dimana benda-benda tersebut biasanya mudah ditemui. Terapi lainnya pun dilakukan di ruangan bermain biasa.

Identical instructions vs Varied instructions from the beginning
Dalam ABA, instruksinya baku sehingga terkesan bahasa anak menjadi sangat kaku. Dalam CBT, dari awal sudah digunakan instruksi yang bervariasi (senatural mungkin).

Look at me” vs Self directed attention
Dalam ABA, setiap kali ingin meminta perhatian anak selalu didahului dengan kata “lihat…!” atau “look at me…!”. Cara atau style seperti ini tidak terjadi dikeseharian anak normal saat berinteraksi. Tidak pernah dilakukan apabila seseorang ingin mengajak orang lain berinteraksi didahului dengan kalimant “lihat…!” atau “look at me…!”. Aneh bukan?

Kenapa tidak pakai “look at me” lagi? Supaya anak terlatih berinteraksi se-natural mungkin dimana si anak dilatih memiliki sense apabila ada yang mengajaknya berbicara. Perhatiannya secara otomatis akan tertuju pada yang mengajak berbicara, tanpa si lawan bicara mendahului conversationnya dengan “lihat…!” atau “Look at me…!”. Jadi, anak tidak dibiasakan baru melihat ketika mendengar ada yang berkata padanya “look at me..!”.

Food Reinforcers vs Activities, toys
Dengan menggunakan reinforcer anak akan lebih mudah memberikan perhatian pada apa yang kita minta/tanyakan karena kalau dia memberikan atensi dan respon yang baik maka dia akan mendapat sesuatu yang menyenangkan.

Jika anak kita senang dengan mainan atau aktivitas tertentu, maka mainan dan aktivitas tersebut lebih baik dijadikan reinforcers dibanding makanan. Namun pada beberapa anak yang minatnya masih sangat terbatas pada mainan dan aktivitas tertentu, maka makanan masih bisa digunakan.

Wrong wrong prompt vs Prompt as necessary
Prompt juga digunakan seperlunya (seperti yang dianjurkan pada RDI). Kurang make sense bila anak tidak tau kemudian kita katakana ‘Tidak…!” hingga dua kali sebelum di prompt. Kalau memang diperlukan, prompt di awal sesuai kebutuhan.

10 trials sessions vs Depends on task and child
Trials tidak perlu dilakukan 10 kali, kalau anak sudah bisa sekali kenapa harus diulang-ulang? Pengulangan dilakukan sesuai dengan kebutuhan saja.

Mass trials vs Discrimination
Dalam ABA, trial dilakukan langsung beberapa (biasanya langsung 3) sementara di CBT dimulai dengan 1 hal kemudian setelah consistent, dikasi hal lain yang berbeda. Misalnya ngajarin nama hewan, dimulai dengan satu hewan dulu misalnya ikan. Setelah bisa memegang atau menunjuk kartu gambar atau mainan berbentuk ikan, berikan satu hewan baru dan minta anak menunjukkan gambar/benda ikan.

Understanding Language
* Kenapa anak tidak memperhatikan guru/terapis/lawan bicaranya? Bisa jadi karena dia memiliki kendala dalam berbahasa sehingga anak cenderung memperhatikan hal lain ketimbang mendengarkannya.

Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam mengajarkan bahasa:
  • Harus memilih target yang sangat fungsional. Mengajarkan “da-da” misalnya lebih fungsional ketimbang “pegang hidung”, pegang telinga”, dalam kehidupan sehari-hari, tidak mungkin kita ketemu orang terus berkata “pegang hidung”. Jadi kata-kata yang diajarkan harus benar-benar yang aplikatif keseharian dan dipilih sesuai kebutuhan dan kesenangan anak.
  • Tidak harus mengikuti urutan langkah-langkah persis seperti di buku. Tiap anak berbeda kebutuhannya sehingga program yang diberikan harus disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan anak. Mulai setahap demi setahap, jangan mengajarkan banyak hal sekaligus.
  • Harus sistematik, ajarkan target one-by-one.
  • Setting harus sangat natural, mis. mengajarkan kata “jus” ya harus di dapur. ”pakai sepatu” ya harus di depan pintu.

Beberapa alternatif mengajarkan bahasa:
Ajarkan bahasa isyarat sebagai salah satu opsi berinteraksi. Kita tidak selalu memanggil seseorang harus dengan berkata-kata. Kadang-kadang kita cukup melambaikan tangan untuk isyarat memanggil. Mengusir dengan gerakan isyarat tangan mengusir. Instruksi berhenti dengan telapak tangan ditegakkan (tanda stop) dll. Mengajarkan “gesture” - menggunakan komunikasi non verbal (meski anak sudah verbal) bergantian, anak yang menyuruh terapis dan vice versa. Contoh anak dan terapis duduk. Terapis memberi instruksi anak untuk berdiri dengan isyarat tangan (kedua telapak tangan ke atas,kemudian keduanya digerakkan ke atas). Setelah itu suruh mundur dengan isyarat tangan mengusir. Setelah itu ’stop’ dengan isyarat stop. Berputar (anak menggunakan gerakan berputar dengan telunjuknya), maju, duduk dll.
Mengajarkan receptive label lebih mudah diawali dengan mengenali suara bendanya.

Tahapannya:
1. Tahap 1: Letakkan 3 benda di atas meja lalu bunyikan benda tertentu (yang sama dengan yang di atas meja) di bawah meja. Minta anak menunjukkan benda apa yang dibunyikan itu.
2. Tahap 2: sda, hanya saja pada saat anak menunjuk atau memegang benda yang sesuai dengan bunyinya, kita sebutkan nama bendanya.
3. Tahap 3: tanpa diperdengarkan bunyinya, minta anak menunjuk benda yang kita sebutkan namanya.

Contoh di video saat seminar: di meja ada beberapa objek, biasanya SD-nya “tunjuk mobil”, tetapi ini tidak demikian. Diperdengarkan suara mobil “broom..brooom”, terus anak menunjuk mobil, dst. Setelah anak sudah lancar memasangkan suara dengan bendanya, baru menggunakan suara + nama benda, tahap berikutnya tanpa suara, hanya nama saja.

* Cara lain mengajarkan “instruksi 2 tahap”:
1. Pertama dengan beberapa gambar/object yang diletakkan di atas meja. SD-nya meminta “Ambil sepeda dan gambar perosotan”. Perhatikan urutan anak mengambil gambar apakah sesuai dengan perintah SD-nya (mengambil gambar sepeda dulu baru gambar perosotan). Kalau sudah benar, barumasuk ke tahapan kedua.
2. Tahap berikut, tanpa objek pada natural setting, mis: “Ambil buku dan letakkan di atas meja”.

* Cara lain mengajarkan warna:
Mengajarkan warna dengan cara yang fun misalnya untuk anak yang suka meloncat-loncat, gunakan trampoline. Saat anak sedang loncat-loncat di trampoline kecil, kemudian di lantai ada potongan persegi/kartu 2 warna, hijau dan merah. SD-nya berkata “lompat di warna hijau”, si anak lompat dari trampoline ke potongan warna hijau. Kalau anak masih bingung, pakai 1 warna dulu dimana kartunya dipindah-pindahkan posisinya dan minta anak meloncat kearah kartu. Misalnya “lompat di warna hijau…!” Kalau sudah consistent, ambil 2 kartu dengan warna berbeda dan lakukan seperti di atas.

Developing Spontaneity/Mengembangkan Spontanitas
* Cara lama -> receptive dulu kemudian diikuti expressive, cara CBT tidak selalu harus berurutan demikian.
* Mengajarkan “the power of language/kekuatan berbahasa” dengan menggunakan minat anak sehingga anak merasa dengan menggunakan language “I get what I want/Aku mendapatkan apa yang aku inginkan”. -> cara ini digunakan di VB, yaitu. mengajarkan “MAND” (requesting/meminta) dengan menggunakan apa motivasi anak saat itu sebagai Establishing Operation-nya. Hal ini memang saya alami dengan Michael dulu, ketika dengan old ABA, spontannya sama sekali tidak keluar, begitu saya implementasikan VB, langsung keluar sampai kebablasan semuanya selalu dengan “mau ini.. mau itu”.
* Ciptakan kesempatan sebanyak mungkin untuk mengajarkan anak berbicara secara spontan (manipulasi lingkungan) à repetition.
* Ajarkan bahasa yang aplikatif (langsung terpakai dalam keseharian).
* Bisa menggunakan lagu, anda bernyanyi kemudian stop di tengah-tengah agar anak meneruskannya.
* Jangan semua hal langsung diberikan tanpa diminta. Ciptakan kebutuhan untuk berkomunikasi. Kalau muncul sebuah kebutuhan, maka anak terpaksa untuk berkomunikasi agar kebutuhannya terpenuhi. Misalnya jangan dikasi makan kalau anak tidak meminta.

Social Skills
Kenapa social skill diperlukan? Dengan social skills anak akan: mengembangkan pertemanan, belajar bahasa alami, mengurangi mencari perhatian yang tidak perlu, mengurangi ketergantungan, persetujuan/penerimaan teman sebaya, mengurangi kesendirian dan meningkatkan kualitas hidup.

Ada beberapa contoh video klip mengajarkan social skills sbb:
1. Mengajarkan perilaku mana yang “cool/not cool (baik/kurang baik)”
Dua orang dewasa sedang main lempar bola, kemudian salah satunya luput menangkap bola, dan reaksinya marah-marah, menendang bola. Anak ASD duduk dengan ayahnya dan ketika melihat reaksi tsb. Mereka berlomba pura-pura meniup (terompet) – seperti main cerdas-cermat, memencet bel untuk berebut menjawab. Yang menang (si ayah pura-pura kalah cepat terus), langsung mengacungkan pamphlet dengan tulisan “Cool” jika dia menilai perilaku tsb. Cool atau “Not Cool” jika dia menilai not cool.
Situasi perilaku tidak hanya kalah dalam suatu permainan, tetapi juga ketika menjawab/merespon ajakan, misalnya satu orang mengajak “Ayo kita makan pizza”, yang satu memberi jawaban “Nggak, aku nggak suka pizza”.
Kalau anak menjawab “not cool” harus memberikan jawaban respon yang seharusnya seperti apa.

2. Mengajarkan social skill “memberitahukan suatu rahasia”
Step 1: Terapis dan anak. Terapis berbisik ke telinga plush toy, kemudian bertanya ke anak apakah itu tadi “memberitahukan rahasia atau bukan rahasia?”
Step 2: Terapis berkata keras di telinga boneka tsb., anak menilai “memberitahukan rahasia/atau bukan rahasia” kalau bukan memberitahukan rahasia apa alasannya (karena tidak berbisik dan tidak menutup mulut waktu berbisik)
Step 3: Ganti anak yang berlatih. Anak disuruh ambil satu kartu, kemudian berbisik ke telinga boneka apa yang dia lihat di kartu tadi. Terapis yang membenarkan kalau anak masih belum benar melakukannya.
Step 4: Berlatih dengan 2 anak & 1 terapi. Si Terapis bertanya “Dhani apa warna favoritmu?” si anak disuruh menirukan menjawab “Aku tak dapat mengatkannya kepadamu, Aku akan mengatakannya kepada Mbak Ribi”, terus dia berbisik ke Mama apa warna kesukaannya. Kemudian Ribi ditanya apa Dhani memberitahukan suatau rahasia? Terapis harus membenarkan, apakah anak berbisik, menutup mulutnya waktu berbisik.

3. Mengajarkan empathy
Salah satu anak pura-pura jatuh dan lututnya sakit, anak ASD disuruh membantu check dan ambil obat.
Salah satu anak pura-pura kelaparan dan berkata “Aku lapar, Aku belum sarapan” si anak ASD disuruh kasih Oreo yang dia punya.

4. Mengajarkan berbagi
Ada 3 anak, yang 2 diberi mainan dan 1 anak tidak diberi mainan, maka anak yang memiliki mainan dilatih berbagi mainannya.

Play Skills
Anak juga perlu diajarkan permainan yang umumnya dimainkan anak seusianya.
Tahap-tahapannya:
1. Basic completion activities/Aktivitas penyelesaian dasar seperti puzzle, Mr. Potato yang melibatkan logical thinking.
2. open end activities/Aktivitas akhir terbuka, seperti hide and seek/petak umpet.
3. social rule based and structured/Aktivitas yang berdasarkan aturan sosial dan terstruktru misal permainan yang pakai aturan.
4. social flexible and non structured/Aktivitas sosial fleksibel dan tidak terstruktru
5. Imaginary playing /permainan imajinasi-> cooking, farm dll
6. Pretend play/Permainan pura-pura
7. Role play dengan empathy/Bermain peran dan empati
8. Developing passions/Mengembangkan minat

Ajarkan semua hal yang biasanya dilakukan anak-anak seusianya, seperti nonton TV, computer game. Mengajarkan sport juga sangat dianjurkan, agar anak memiliki topic yang bisa dibicarakan dengan sesama penggemar sport tsb.

Cara mengajarkan “Darts” (lempar anak panah ke sasaran)
Tahap 1: Ajarkan anak melempar beanbag kecil-kecil ke papan sasaran. Intinya adalah melatih membidik. Gunakan benda yang mudah dipegang dan dilemparkan seperti beanbag.
Tahap 2: Ajarkan anak melempar menggunakan magnetic darts, just give one dart at a time
Tahap 3: Berikan sekaligus beberapa dart, supaya dia bisa memegang banyak dart di tangan kiri, kemudian mengambil satu-persatu untuk dilempar (tidak melempar semua dart yang diberikan sekaligus)
Tahap 4: Ajarkan melempar bergiliran dengan terapis
Tahap 5: Ajarkan melempar bergiliran dengan teman sebaya, dan menunggu ketika si teman meleset lemparannya dan mencoba kembali.
Tahap 6: Ajarkan konsep menang dan kalah.

Mengajarkan bermain bisa juga melalui video, contoh: ada seorang ayah yang merekam dirinya bermain dengan satu set permainan playdoh, dengan perubahan-perubahan suara seusai lakon/karakternya. Kemudian suruh si anak melihat video tsb. Dan mempraktekkannya.

Learning in group/Belajar dalam kelompok
  • Observation learning/Belajar mengamati
  • Waiting/Menunggu
  • Attending/Memperhatikan
  • Following group instructions/Mengikuti instruksi dalam kelompok
  • Social opportunities for social skill training/Peluang sosial bagi latihan keterampilan sosial
Tahap 1 : dengan story telling, 2 anak, 1 terapis di meja. Kemudian si terapis memberi pertanyaan yes/no sambil menunjuk gambar “apakah ini beruang?” dst.
Tahap 2: dengan grup yang lebih besar.





Tidak ada komentar: