Kamis, 25 Oktober 2007

Anak autis hilang? oh NO..............

Tips yang dapat dilakukan untuk mencegah anak autis hilang...

1. Kenali anak kita.
Perhatikan kebiasaannya, kesenangannya, hal-hal yang dapat mengarah
pada "bahaya", jadikan itu sebagai "target belajar".
Kalau sudah bisa diajari untuk menghafal data diri, segera lakukan,
latih (kalau perlu dengan "bermain peran") berkali-kali sampai hafal
mati- untuk mengungkapkan data diri kepada orang lain (termasuk orang
yang tidak dia kenal sekalipun).
Kalau belum bisa diajari, AWASI dengan ketat, atau, pakaikan sesuatu
yang merupakan jati diri dia sehingga orang yang menemukan dia dapat
menghubungi kita.

2. Ajari anak kita.
Data diri, WAJIB.
Nama panggilan, nama ibu, nama bapak, nomer telpon dan alamat.
Kalau bisa bicara, ajari jawab pertanyaan standard "nama"..."nomer telpon".
Kalau tidak bisa bicara, belum bisa lancar, atau mentok kalo stres,
ajari menulis namanya, atau nomer telpon atau nama sekolah.
Kalau belum bisa bicara dan belum bisa menulis, sekali lagi, AWASI
dengan ketat atau, pakaikan sesuatu yang merupakan jati diri dia.

Beberapa POLA yang biasa terjadi pada anak autis:
- anak autis memiliki daya ingat yang (biasanya) baik, jadi apa yang
mereka lakukan sekarang seringkali berkaitan dengan sesuatu di masa
lalunya.
Kasus A = balik ke tempat majalah yang dia kepingin tapi gak
dibeliin ibunya. Kasus B = balik ke tempat terakhir dia field trip
sama sekolahan..mungkin belum puas.
Kalau memang memungkinkan, telusuri tempat2 dimana memang kemungkinan
anak itu berada.

- karena mereka cenderung kembali ke tempat semula --- sebaiknya KITA
berusaha untuk berada di sekitar tempat terakhir kita pisah sama anak.

SEGERA diskusikan dengan tim masing-masing (orangtua, pengasuh, guru,
terapis) mengenai beberapa hal utama:
1. Kemampuan anak sampai dimana
2. Sifat unik anak, apa (mau pakai kalung? gelang? alat canggih? bisa
bicara? bisa tulis? tidak bisa apa-apa tapi bisa dilatih? gak mau pake
apa2?)
3. AJARI sesuatu yang merupakan kemampuan anak untuk PROBLEM SOLVING
kalau terjadi ssuatu yang tidak kita inginkan. Kalau bisa disuruh cari
satpam, do it. Kalau bisa disuruh "stay where you are", do it. Kalau
bisa disuruh "telpon papa", do it.
Kalau belum bisa semua di atas, LATIH untuk pakai identitas diri,
TIDAK BOLEH DIBUANG
4. Rekayasakan situasi, ulang lagi, coba role play, libatkan
"strangers" untuk role play ini...supaya anak benar2 paham apa yang
harus ia lakukan dalam situasi yang "tidak terduga" tersebut.

P.S : Dikutip dari Dyah Puspita

Seks bagi Autis remaja

Ringkasan hasil seminar SEKS PADA ANAK ATAU REMAJA PENYANDANG AUTISME yang diselenggarakan oleh Sekolah Lanjutan Autis "Fredofios" Jogja

Makalah I mengenai "Perkembangan Seksual Secara Umum Pada Anak Normal" oleh dr. Dyah Hydrawati Sari Hasibuan, MCE, SpOG
dari Fak. Kedokteran UGM. Session ini menjelaskan perkembangan normal tentang fertilisasi, diferensiaisi seks pada janin, karakteristik seksual, dan masa pubertas.
Dengan mengetahui proses perkembangan seksual ini, diharapkan dapat membantu ortu utk memberikan informasi yang konkret kepada anak-anak sehingga mampu menyikapi perubahan fisik saat pubertas, menghargai diri sendiri sehingga bisa waspada dan menjaga diri.
Secara umum, bisa dikatakan bahwa tidak ada perbedaan antara anak normal dengan anak autis dalam hal perkembangan organ seksualnya

Makalah II tentang "Perkembangan Seksual pada Remaja Autis" oleh Ibu Dra. Indria Laksmi Gamayanti, M.Si, psikolog pada Bag. Ilmu Kesehatan Anak Fak. Kedokteran UGM, dan juga psikolog di P3TKA (Pusat Pengkajian dan Pengamatan Tumbuh Kembang Anak) Jogja.

Pokok-pokok isinya a.l. : - perkembangan psikososial anak autis membicarakan tentang : organ-organ seksual, perilaku seksual, dan emosi (senang, simpati, care, love). - meskipun anak autis mempunyai hambatan interaksi sosial, tetapi kalau berinteraksi dengan ada keterlibatan emosi dengan orang lain (terutama ortu dan saudara dekat), maka asumsinya dapat juga terjalin kelekatan secara emosi dengan lawan jenis. - perlu diteliti lebih lanjut apakah ketertarikan ini secara fisik atau emosional juga, apakah "fokus" pada satu "partner" atau pada sembarang orang.
Dorongan seksual timbul karena :
(a) dorongan alamiah biologis + nutrisi yang cukup,
(b) dan (b) stimulasi lingkungan (TV, majalah, sekolah, keluarga). - contoh manifestasi perilaku seksual pada anak autis : memeluk/mencium lawan jenis
mengamati gambar-gambar seksi, menggambar pakaian dalam wanita, masturbasi. - apa yang perlu dilakukan ? saran/tips a.l. :
  • anak tidak terekspos stimulant,
  • berikan banyak aktivitas/penyaluran enegi,
  • pendekatan moral dan psiko-spiritual,
  • penjelasan kepada anak secara konkret mengenai perkembangan seksual,

untuk anak perempuan :
  • jangan mau diajak oleh laki-laki kecuali ortu dan saudara,
  • jangan mau dipegang bagian tubuh tertentu,
  • menjaga kebersihan dan kesehatan reproduksi,
  • belajar beladiri
untuk anak laki-laki :
  • tidak boleh memeluk/merangkul wanita kecuali ortu dan saudara
  • pengarahan manifestasi perilaku seksual.

Forum menjadi semakin hangat ketika memasuki session tanya jawab yang terfokus pada masalah masturbasi pada anak autis :

Boleh atau tidak masturbasi terutama dilihat dari sisi agama ? harus ditanyakan ke ahlinya/ulama.
(1) pada anak autis, akibat 'teknik" yang salah, masturbasi bisa melukai alat kelamin dan menimbulkan infeksi.
(2) berapa frekuensi yang sehat dalam melakukan aktivitas ini ? tergantung nutrisi, aktivitas, musim liburan.

Makalah III mengenai "Seksualitas pada Remaja Autis" oleh Bp. Fred Vrugteveen, konsultan pendidikan pada SLA Fredofios dari VSO (Voluntary Service Overseas)Belanda, disajikan bersamaan dengan makalahnya Ibu Gamayanti

(Makalah II) karena memang topiknya sama. Pak Fred, yang lahir di Surabaya dan besar di Belanda serta sangat fasih berbahasa Indonesia ini menyampaikan hal-hal antara lain sbb. :
- Para pendidik atau ortu harus terbuka dan siap berbicara tentang seksualitas sehingga tidak menghambat proses penyampaian informasi kepada anak. - PERKEMBANGAN REMAJA AUTIS
- perkembangan mengidentifikasi laki-laki atau perempuan sudah mulai pada usia muda.
- perkembangan peran seks
- perkembangan pilihan teman/pacar
- proses pubertas biasanya sama dengan anak normal
- tidak mampu membayangkan perasaan dan pikiran orang lain yang akan mempengaruhi proses seksual
- perkembangan sosial : kemandirian, bekerja dan berhubungan dengan orang lain.

PERKEMBANGAN SEKSUAL REMAJA AUTIS
perkembangannya biasanya sama dengan anak normal

(1) anak "aloof" : tidak mau kontak sosial, seksualitasnya tidak terfokus pada orang lain, keinginan seksual hanya untuk diri sendiri, biasanya melalui masturbasi, tidak menyadari peraturan sosial, tidak ada perasaan malu (masturbasi di tempat umum, buka celana di luar kamar mandi, memperlihatkan alat kelamin d tempat umum).
(2) *anak pasif : seksualitas utk diri sendiri, sering meniru remaja lain, hubungan resmi jarang terjadi.
(3) *anak aktif : seksualitas menjadi topik yang paling favorit bagi anak ini, perasaan malu berkembang lebih baik.
(4) *anak asperger : sering membutuhkan hubungan intim, kadang-kadang bertemu suami/istri.

MASALAH SEKSUAL
masalah perilaku (agresif, menyakiti diri), hipermasturbasi, masturbasi di tempat umum, pegang, cium, bagian tubuh orang lain. * tidak ada perasaan malu : berbicara tentang seks pada siapa pun, resiko disalahgunakan.

TIPS/SARAN :
(1) pengarahan perilaku masturbasi : tidak boleh di tempat umum, bolehnya di kamar mandi atau kamar tidur.
(2) dijelaskan bahwa membuka celana di tempat umum tidak boleh.
menjelaskan dengan visualisasi (hubungan sosial, emosi, cinta)
(4) pelajaran mengenai ketrampilan dan kemandirian.

Selasa, 23 Oktober 2007

Bagian 2 Seminar Evolution of ABA

BAGIAN 2
Behavior Management (bagian ini yang sering tidak dilakukan dalam penerapan
Critical thinking & Possible interpretation/Berfikir kritis dan kemungkinan Interpretasi
Pada dasarnya kita harus berpikir secara kritis dalam menghadapi perilaku-perilaku anak, kemudian dari perilaku tsb., kita harus membuat interpretasi-2 kemungkinannya. Kebiasaan orang pada umumnya, selalu membuat 1 interpretasi, anak menangis -> oh tadi kurang tidur.

Berfikir kritis perlu dilatih. Misalnya:
Kejadian yang diamati:
1. Ibu mengatakan kepada John, ”Jika kamu tidak membawa payung, nanti akan hujan.”
2. John membawa payung
3. Tidak hujan.

Kemungkinan interpretasi:
1. Payung menghilangkan awan hujan.
2. Ibu John dapat memprediksi cuaca.
3. Membawa payung adalah perilaku yang bersifat takhayul.
4. Ini suatu kebetulan.

Contoh lain:
Observed Events:
1. Anak menunjukkan perilaku menganggu dan memiliki kemampuan bicara, bermain dan sosial yang terbatas.
2. Anak mulai terapi/ treatment.
3. Anak tampak berkembang.

Kemungkinan interpretasi:
1. Treatment/Terapi efektifk
2. Anak mendapatkan perhatian lebih.
3. Meningkatkan situasi terstruktur
4. Treatment/terapi kombinasi
5. Mengubah fasilitas kemajuan temporer.
6. Pengamatan bias.

Fondasi Behaviorisme
1. Analitic approach/Pendekatan analitik:
1. Perilaku yang dapat diamati/Observable behaviors
2. Defenisi objektif/Objective definition
3. Analisa kritis/Critical analysis
2. Behaviors are learned/Perilaku dapat dipelajari.

Bahwa semua perilaku dapat dipelajari, bagaimana mempelajarinya? Ya balik ke teori A-B-C (Antecedent-Behavior-Consequence). Kita harus hati-hati dalam memberikan konsekuensi/consequence atas suatu perilaku, karena consequence ini menentukan timbul/tidaknya kembali perilaku tsb di kemudian hari. Oleh karenanya sangat penting melakukan Functional Behavior Assessment (FBA) – apa tujuan anak itu berperilaku demikian., apakah tujuannya untuk attention/perhatian, avoidance/menghindar, isolation (ingin ditinggal sendiri), anger release/melepaskan rasa marah, self-stimulation/stimulasi diri dan communication/komunikasi. Misalnya kalau tujuan anak avoidance/menghindar, kemudian kita beri konsekuensi dengan ignoring/mengabaikan -> maka consequence yang kita berikan malah menunjang tujuan anak (reinforcing). Kalau anak ingin isolation, kita beri time-out juga akan me-reinforce anak mengulang kembali perilakunya.

Ada contoh video:
Seorang anak menangis teriak-teriak, oleh si terapis dicoba disodori berbagai mainan & makanan tetap menangis. Ternyata si anak ingin keluar dari kursi, oleh si terapis kemudian si anak tetap disuruh duduk, meski menangis menjerit-jerit, kemudian disuruh mengatakan “up”, begitu si anak mengatakan “up” dia boleh pergi, begitu keluar dari kursi, nangisnya langsung stop. Prosedur tsb. diulang kembali, si anak digandeng kembali ke kursi, dan nangis lagi, disuruh bilang “up”, begitu dia menirukan, diperbolehkan pergi -> anak belajar bahwa semakin cepat dia bilang “up” dia boleh pergi. Setelah anak sudah tenang, baru diselingi dengan pembelajaran.

Contoh lagi:
Ada seorang anak yang suka ngomong, apa saja diomongkan, menirukan percakapan iklan (omongan yang tidak bermakna).
Tahap 1: Anak & terapis duduk di meja, target “anak tidak melakukan nonsense talk/omongan ngawur selama 1 detik”, begitu anak diam dalam 1 detik, langsung diberi token di kotak tokennya, kalau gagal, token diambil kembali.
Tahap 2: Target waktu diperpanjang
Tahap 3: Anak diberi tugas, jika anak bisa melakukan tugasnya tanpa melakukan nonsense talk maka dia mendapat token. Setelah token terkumpul, ditukar dengan reward.

Seminar Evolution of ABA

By Toby Mountjoy di Indocare 29 September 2007
BAGIAN 1
Setiap anak selalu start dari kemampuan dasar (skill) yang sama saat mereka lahir. Anak autis akan tertinggal dan makin tertinggal seiiring dengan waktu.
Agar gap ketertinggalan anak autis bisa dipersempit, maka ada beberapa faktor yang berperan:
1. Cognitive/Kognitif
2. Early intervention/Intervensi Dini
3. Intensive/Intensif
4. Consistent/Konsisten
5. Quality/Kualitas

Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil dari intervensi ASD:


Early Intervention
Semakin dini, akan semakin baik prognosisnya, gap “tertinggal”nya kemampuan antara anak ASD dan anak NT akan dapat diperkecil.

Intensive
Salah satu kunci sukses penanganan anak autis adalah intervensi yang dilakukan secara intensive. Target 30 jam sepekan atau sekitar 4-5 jam sehari.

Consistent
Semua pihak yang akan terlibat dalam penanganan anak autis harus menggunakan pendekatan yang sama (menerapkan nilai-nilai, aproach dan instruksi). Semua pihak harus bekerja sama sebagai suatu tim untuk mencapai goal yang sama yang diketahui oleh semua pihak yang terlibat.

Quality
Qualitas dari program, kurikulum dan tenaga terapis adalah kunci sukses lainnya. Supervisi dan pelatihan untuk tenaga terapi harus dilakukan secara baik dan memadai karena skill untuk menyusun program dan menerapkannya memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Sehingga orang-orang yang akan merancang program & kurikulum harus terdidik, terlatih dan keep updated terhadap new technic, approach dll. Siapa yang mendesign program, siapa yang melakukan terapinya dsb. Banyak pihak yang hanya mempelajari ABA dari seminar satu hari, kemudian sudah mengaku menguasai ABA.

Cognitive
Setengah dari keberhasilan penanganan anak autis ditentukan oleh cognitive yang dimilikinya.
CBT VS ABA

Apa beda CBT dengan ABA
Banyak orang yang hanya mempraktekkan secuil dari ABA, padahal sebenarnya ABA sangat luas dan penggunaannya-pun tidak terbatas hanya untuk autisme, tetapi bisa juga untuk gangguan dan masalah-masalah perilaku lainnya, misalnya alcoholic. ABA saat ini digunakan dengan berbagai/metode dan teknik serta merupakan treatment untuk autism yang sudah terbukti secara ilmiah.

CBT (Contemporary Behavior Therapy)
Lebih banyak menggunakan setting natural, penekanan pada kurikulum individual dan learning opportunities/peluang belajar menggunakan minat anak. Prizant and Wetherby secara khusus mengidentifikasikan Autism Partnership (AP) sebagai percontohan dari pendekatan ini, oleh karenanya kemudian AP mengadopsi nama CBT sebagai pendekatan mereka.


Traditional ABA
Eliminate distraction
Identical instructions
“Look at me”
Exclusive 1:1
Food Reinforcers
Wrong wrong prompt
10 trials sessions
Mass trials

Contemporary Cognitive Behavior/CBT
Most natural possible
Varied instructions from the beginning
Self directed attention*
Combined format
Activities, toys
Prompt as necessary
Depends on task and child
Discrimination

Eliminate distraction vs Most natural possible
Dalam ABA, ruang terapi dibuat sedemikian rupa agar tidak banyak pernak-pernik yang akan mengalihkan perhatian anak saat di terapi. Dindingnya bersih dari gambar, tidak banyak mainan, dll. Dalam CBT, ruang terapi dibuat senatural mungkin. Kalau sedang belajar mengenai makan, lakukan di ruang makan. Belajar sayur dan buah-buahan di lakukan di dapur dimana benda-benda tersebut biasanya mudah ditemui. Terapi lainnya pun dilakukan di ruangan bermain biasa.

Identical instructions vs Varied instructions from the beginning
Dalam ABA, instruksinya baku sehingga terkesan bahasa anak menjadi sangat kaku. Dalam CBT, dari awal sudah digunakan instruksi yang bervariasi (senatural mungkin).

Look at me” vs Self directed attention
Dalam ABA, setiap kali ingin meminta perhatian anak selalu didahului dengan kata “lihat…!” atau “look at me…!”. Cara atau style seperti ini tidak terjadi dikeseharian anak normal saat berinteraksi. Tidak pernah dilakukan apabila seseorang ingin mengajak orang lain berinteraksi didahului dengan kalimant “lihat…!” atau “look at me…!”. Aneh bukan?

Kenapa tidak pakai “look at me” lagi? Supaya anak terlatih berinteraksi se-natural mungkin dimana si anak dilatih memiliki sense apabila ada yang mengajaknya berbicara. Perhatiannya secara otomatis akan tertuju pada yang mengajak berbicara, tanpa si lawan bicara mendahului conversationnya dengan “lihat…!” atau “Look at me…!”. Jadi, anak tidak dibiasakan baru melihat ketika mendengar ada yang berkata padanya “look at me..!”.

Food Reinforcers vs Activities, toys
Dengan menggunakan reinforcer anak akan lebih mudah memberikan perhatian pada apa yang kita minta/tanyakan karena kalau dia memberikan atensi dan respon yang baik maka dia akan mendapat sesuatu yang menyenangkan.

Jika anak kita senang dengan mainan atau aktivitas tertentu, maka mainan dan aktivitas tersebut lebih baik dijadikan reinforcers dibanding makanan. Namun pada beberapa anak yang minatnya masih sangat terbatas pada mainan dan aktivitas tertentu, maka makanan masih bisa digunakan.

Wrong wrong prompt vs Prompt as necessary
Prompt juga digunakan seperlunya (seperti yang dianjurkan pada RDI). Kurang make sense bila anak tidak tau kemudian kita katakana ‘Tidak…!” hingga dua kali sebelum di prompt. Kalau memang diperlukan, prompt di awal sesuai kebutuhan.

10 trials sessions vs Depends on task and child
Trials tidak perlu dilakukan 10 kali, kalau anak sudah bisa sekali kenapa harus diulang-ulang? Pengulangan dilakukan sesuai dengan kebutuhan saja.

Mass trials vs Discrimination
Dalam ABA, trial dilakukan langsung beberapa (biasanya langsung 3) sementara di CBT dimulai dengan 1 hal kemudian setelah consistent, dikasi hal lain yang berbeda. Misalnya ngajarin nama hewan, dimulai dengan satu hewan dulu misalnya ikan. Setelah bisa memegang atau menunjuk kartu gambar atau mainan berbentuk ikan, berikan satu hewan baru dan minta anak menunjukkan gambar/benda ikan.

Understanding Language
* Kenapa anak tidak memperhatikan guru/terapis/lawan bicaranya? Bisa jadi karena dia memiliki kendala dalam berbahasa sehingga anak cenderung memperhatikan hal lain ketimbang mendengarkannya.

Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam mengajarkan bahasa:
  • Harus memilih target yang sangat fungsional. Mengajarkan “da-da” misalnya lebih fungsional ketimbang “pegang hidung”, pegang telinga”, dalam kehidupan sehari-hari, tidak mungkin kita ketemu orang terus berkata “pegang hidung”. Jadi kata-kata yang diajarkan harus benar-benar yang aplikatif keseharian dan dipilih sesuai kebutuhan dan kesenangan anak.
  • Tidak harus mengikuti urutan langkah-langkah persis seperti di buku. Tiap anak berbeda kebutuhannya sehingga program yang diberikan harus disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan anak. Mulai setahap demi setahap, jangan mengajarkan banyak hal sekaligus.
  • Harus sistematik, ajarkan target one-by-one.
  • Setting harus sangat natural, mis. mengajarkan kata “jus” ya harus di dapur. ”pakai sepatu” ya harus di depan pintu.

Beberapa alternatif mengajarkan bahasa:
Ajarkan bahasa isyarat sebagai salah satu opsi berinteraksi. Kita tidak selalu memanggil seseorang harus dengan berkata-kata. Kadang-kadang kita cukup melambaikan tangan untuk isyarat memanggil. Mengusir dengan gerakan isyarat tangan mengusir. Instruksi berhenti dengan telapak tangan ditegakkan (tanda stop) dll. Mengajarkan “gesture” - menggunakan komunikasi non verbal (meski anak sudah verbal) bergantian, anak yang menyuruh terapis dan vice versa. Contoh anak dan terapis duduk. Terapis memberi instruksi anak untuk berdiri dengan isyarat tangan (kedua telapak tangan ke atas,kemudian keduanya digerakkan ke atas). Setelah itu suruh mundur dengan isyarat tangan mengusir. Setelah itu ’stop’ dengan isyarat stop. Berputar (anak menggunakan gerakan berputar dengan telunjuknya), maju, duduk dll.
Mengajarkan receptive label lebih mudah diawali dengan mengenali suara bendanya.

Tahapannya:
1. Tahap 1: Letakkan 3 benda di atas meja lalu bunyikan benda tertentu (yang sama dengan yang di atas meja) di bawah meja. Minta anak menunjukkan benda apa yang dibunyikan itu.
2. Tahap 2: sda, hanya saja pada saat anak menunjuk atau memegang benda yang sesuai dengan bunyinya, kita sebutkan nama bendanya.
3. Tahap 3: tanpa diperdengarkan bunyinya, minta anak menunjuk benda yang kita sebutkan namanya.

Contoh di video saat seminar: di meja ada beberapa objek, biasanya SD-nya “tunjuk mobil”, tetapi ini tidak demikian. Diperdengarkan suara mobil “broom..brooom”, terus anak menunjuk mobil, dst. Setelah anak sudah lancar memasangkan suara dengan bendanya, baru menggunakan suara + nama benda, tahap berikutnya tanpa suara, hanya nama saja.

* Cara lain mengajarkan “instruksi 2 tahap”:
1. Pertama dengan beberapa gambar/object yang diletakkan di atas meja. SD-nya meminta “Ambil sepeda dan gambar perosotan”. Perhatikan urutan anak mengambil gambar apakah sesuai dengan perintah SD-nya (mengambil gambar sepeda dulu baru gambar perosotan). Kalau sudah benar, barumasuk ke tahapan kedua.
2. Tahap berikut, tanpa objek pada natural setting, mis: “Ambil buku dan letakkan di atas meja”.

* Cara lain mengajarkan warna:
Mengajarkan warna dengan cara yang fun misalnya untuk anak yang suka meloncat-loncat, gunakan trampoline. Saat anak sedang loncat-loncat di trampoline kecil, kemudian di lantai ada potongan persegi/kartu 2 warna, hijau dan merah. SD-nya berkata “lompat di warna hijau”, si anak lompat dari trampoline ke potongan warna hijau. Kalau anak masih bingung, pakai 1 warna dulu dimana kartunya dipindah-pindahkan posisinya dan minta anak meloncat kearah kartu. Misalnya “lompat di warna hijau…!” Kalau sudah consistent, ambil 2 kartu dengan warna berbeda dan lakukan seperti di atas.

Developing Spontaneity/Mengembangkan Spontanitas
* Cara lama -> receptive dulu kemudian diikuti expressive, cara CBT tidak selalu harus berurutan demikian.
* Mengajarkan “the power of language/kekuatan berbahasa” dengan menggunakan minat anak sehingga anak merasa dengan menggunakan language “I get what I want/Aku mendapatkan apa yang aku inginkan”. -> cara ini digunakan di VB, yaitu. mengajarkan “MAND” (requesting/meminta) dengan menggunakan apa motivasi anak saat itu sebagai Establishing Operation-nya. Hal ini memang saya alami dengan Michael dulu, ketika dengan old ABA, spontannya sama sekali tidak keluar, begitu saya implementasikan VB, langsung keluar sampai kebablasan semuanya selalu dengan “mau ini.. mau itu”.
* Ciptakan kesempatan sebanyak mungkin untuk mengajarkan anak berbicara secara spontan (manipulasi lingkungan) à repetition.
* Ajarkan bahasa yang aplikatif (langsung terpakai dalam keseharian).
* Bisa menggunakan lagu, anda bernyanyi kemudian stop di tengah-tengah agar anak meneruskannya.
* Jangan semua hal langsung diberikan tanpa diminta. Ciptakan kebutuhan untuk berkomunikasi. Kalau muncul sebuah kebutuhan, maka anak terpaksa untuk berkomunikasi agar kebutuhannya terpenuhi. Misalnya jangan dikasi makan kalau anak tidak meminta.

Social Skills
Kenapa social skill diperlukan? Dengan social skills anak akan: mengembangkan pertemanan, belajar bahasa alami, mengurangi mencari perhatian yang tidak perlu, mengurangi ketergantungan, persetujuan/penerimaan teman sebaya, mengurangi kesendirian dan meningkatkan kualitas hidup.

Ada beberapa contoh video klip mengajarkan social skills sbb:
1. Mengajarkan perilaku mana yang “cool/not cool (baik/kurang baik)”
Dua orang dewasa sedang main lempar bola, kemudian salah satunya luput menangkap bola, dan reaksinya marah-marah, menendang bola. Anak ASD duduk dengan ayahnya dan ketika melihat reaksi tsb. Mereka berlomba pura-pura meniup (terompet) – seperti main cerdas-cermat, memencet bel untuk berebut menjawab. Yang menang (si ayah pura-pura kalah cepat terus), langsung mengacungkan pamphlet dengan tulisan “Cool” jika dia menilai perilaku tsb. Cool atau “Not Cool” jika dia menilai not cool.
Situasi perilaku tidak hanya kalah dalam suatu permainan, tetapi juga ketika menjawab/merespon ajakan, misalnya satu orang mengajak “Ayo kita makan pizza”, yang satu memberi jawaban “Nggak, aku nggak suka pizza”.
Kalau anak menjawab “not cool” harus memberikan jawaban respon yang seharusnya seperti apa.

2. Mengajarkan social skill “memberitahukan suatu rahasia”
Step 1: Terapis dan anak. Terapis berbisik ke telinga plush toy, kemudian bertanya ke anak apakah itu tadi “memberitahukan rahasia atau bukan rahasia?”
Step 2: Terapis berkata keras di telinga boneka tsb., anak menilai “memberitahukan rahasia/atau bukan rahasia” kalau bukan memberitahukan rahasia apa alasannya (karena tidak berbisik dan tidak menutup mulut waktu berbisik)
Step 3: Ganti anak yang berlatih. Anak disuruh ambil satu kartu, kemudian berbisik ke telinga boneka apa yang dia lihat di kartu tadi. Terapis yang membenarkan kalau anak masih belum benar melakukannya.
Step 4: Berlatih dengan 2 anak & 1 terapi. Si Terapis bertanya “Dhani apa warna favoritmu?” si anak disuruh menirukan menjawab “Aku tak dapat mengatkannya kepadamu, Aku akan mengatakannya kepada Mbak Ribi”, terus dia berbisik ke Mama apa warna kesukaannya. Kemudian Ribi ditanya apa Dhani memberitahukan suatau rahasia? Terapis harus membenarkan, apakah anak berbisik, menutup mulutnya waktu berbisik.

3. Mengajarkan empathy
Salah satu anak pura-pura jatuh dan lututnya sakit, anak ASD disuruh membantu check dan ambil obat.
Salah satu anak pura-pura kelaparan dan berkata “Aku lapar, Aku belum sarapan” si anak ASD disuruh kasih Oreo yang dia punya.

4. Mengajarkan berbagi
Ada 3 anak, yang 2 diberi mainan dan 1 anak tidak diberi mainan, maka anak yang memiliki mainan dilatih berbagi mainannya.

Play Skills
Anak juga perlu diajarkan permainan yang umumnya dimainkan anak seusianya.
Tahap-tahapannya:
1. Basic completion activities/Aktivitas penyelesaian dasar seperti puzzle, Mr. Potato yang melibatkan logical thinking.
2. open end activities/Aktivitas akhir terbuka, seperti hide and seek/petak umpet.
3. social rule based and structured/Aktivitas yang berdasarkan aturan sosial dan terstruktru misal permainan yang pakai aturan.
4. social flexible and non structured/Aktivitas sosial fleksibel dan tidak terstruktru
5. Imaginary playing /permainan imajinasi-> cooking, farm dll
6. Pretend play/Permainan pura-pura
7. Role play dengan empathy/Bermain peran dan empati
8. Developing passions/Mengembangkan minat

Ajarkan semua hal yang biasanya dilakukan anak-anak seusianya, seperti nonton TV, computer game. Mengajarkan sport juga sangat dianjurkan, agar anak memiliki topic yang bisa dibicarakan dengan sesama penggemar sport tsb.

Cara mengajarkan “Darts” (lempar anak panah ke sasaran)
Tahap 1: Ajarkan anak melempar beanbag kecil-kecil ke papan sasaran. Intinya adalah melatih membidik. Gunakan benda yang mudah dipegang dan dilemparkan seperti beanbag.
Tahap 2: Ajarkan anak melempar menggunakan magnetic darts, just give one dart at a time
Tahap 3: Berikan sekaligus beberapa dart, supaya dia bisa memegang banyak dart di tangan kiri, kemudian mengambil satu-persatu untuk dilempar (tidak melempar semua dart yang diberikan sekaligus)
Tahap 4: Ajarkan melempar bergiliran dengan terapis
Tahap 5: Ajarkan melempar bergiliran dengan teman sebaya, dan menunggu ketika si teman meleset lemparannya dan mencoba kembali.
Tahap 6: Ajarkan konsep menang dan kalah.

Mengajarkan bermain bisa juga melalui video, contoh: ada seorang ayah yang merekam dirinya bermain dengan satu set permainan playdoh, dengan perubahan-perubahan suara seusai lakon/karakternya. Kemudian suruh si anak melihat video tsb. Dan mempraktekkannya.

Learning in group/Belajar dalam kelompok
  • Observation learning/Belajar mengamati
  • Waiting/Menunggu
  • Attending/Memperhatikan
  • Following group instructions/Mengikuti instruksi dalam kelompok
  • Social opportunities for social skill training/Peluang sosial bagi latihan keterampilan sosial
Tahap 1 : dengan story telling, 2 anak, 1 terapis di meja. Kemudian si terapis memberi pertanyaan yes/no sambil menunjuk gambar “apakah ini beruang?” dst.
Tahap 2: dengan grup yang lebih besar.





Rabu, 10 Oktober 2007

Autism Poem

It's Spelled Wrong! by Donna Cooper

A mistake has been made.
The word doctors and neurologists
use to diagnose our children is autism,
but it should be AWEtism.
Just think...
Awe at my son's progress.
Awe at each accomplishment.
Awe that we've been blessed to be part of a miracle
Awe to see God's hand at work in my son's life.
Awe to meet such wonderful people.
Awe for each little step in the right direction.
Awe for the love I never knew I had.
It's not Autism, it's AWEtism!"

Susahnya cari sekolah

Sebentar lagi kami akan pindah rumah ke daerah pinggir kota,otomatis Dhani akan pindah sekolah. Saat ini ia bersekolah di TK A reguler, sebuah TK Islam umum yang dengan senang hati mau menerimanya. Sebetulnya Pemerintah telah menetapkan beberapa sekolah yang dapat menerima anak berkebutuhan khusus atau Special Needs Child. Namanya sekolah inklusi, sekolah dimana pada satu kelas yang terdiri dari anak Neuro Typical/NT sebutan keren bagi anak normal dan satu sampai tiga murid spesial.

Dengan sekolah inklusi ini diharapkan murid-murid NT memiliki rasa empati terhadap teman-temannya yang berkebutuhan khusus.Murid-murid yang spesial ini juga akan meniru perilaku normal dari temannya yang NT.
Meskipun Pemerintah telah menetapkan beberapa sekolah menjadi sekolah inklusi, ternyata kenyataan di lapangan cukup mengecewakan. Dimana tidak semua sekolah siap dengan keputusan itu.Tinggal para orang tua saja yang kebingungan terhadap situasi dan kondisi ini.

Termasuk juga kami, apalagi saya belum pernah mendengar Pemerintah menetapkan TK mana yang ditunjuk menjadi sekolah inklusi. Untungnya ada TK Islam di dekat rumah yang bersedia menerima Dhani, untungnya lagi terapis rumah kami mau menjadi guru pendamping atau shadow selama Dhani bersekolah di TK.Dikarenakan kami akan pindah rumah maka kami juga harus mencari sekolah TK terdekat untuk Dhani. Kami tidak mungkin tetap membiarkan Dhani bersekolah di sekolah ini karena jarak yang teramat jauh.

Beberapa sekolah dekat rumah yang saya survey ternyata kurang memahami tentang autis. Mereka beranggapkan semua anak autis mengalami retardasi mental dan sangat hiperaktif. Termasuk salah satu sekolah favorit, dimana psikolognya juga ternyata tidak begitu paham tentang autis. Padahal saat wawancara saya datang bersama Dhani dan Shadow. Dhani juga cukup dapat mengendalikan perilakunya dan dapat duduk manis.
Sang Psikolog minta beberapa persyaratan yang cukup tidak masuk akal, ia minta keterangan dari Psikiater mengenai perilaku Dhani. Tentu saja saya menolak, karena kami sudah lama meninggalkan Psikiater itu. Kami sudah tidak mungkin lagi berkonsultasi dengannya karena pengobatan yang ia tawarkan tidak cocok buat Dhani.Bukan berarti saya kontra terhadap semua Psikiater. Hanya kami berdua merasa kurang sreg dengan model pengobatan itu.

Akhirnya kami mendapatkan sebuah sekolah TK umum yang langsung welcome dengan Dhani.Meskipun saya tahu mereka kurang mengerti tentang autisme. Hal itu tidak menjadi soal karena saya sudah mempersiapkan seorang shadow yang dapat mengawasi Dhani selama bersekolah di sana. The important thing adalah Dhani dapat bersekolah, karena ia betul-betul Enjoy di sekolah. Selamat nak!

Korban Iklan

“Buka telepo biaca,” bibir mungil Dhani mengucap kalimat yang ia baca pada spanduk iklan yang ada di Wartel di seberang kami membeli martabak. Aku tersenyum mendengar ia mengucapkan kalimat itu. Rasanya tak percaya, dahulu untuk membuat mulutnya mengucapkan bunyi “a” saja sulitnya minta ampun. Sekarang sembarang kata yang ia lihat, baik itu di TV atau iklan di jalanan maupun nomer rumah, dengan lahap dibacanya.

Dhani, anak laki-laki kami, adalah seorang penyandang autistik, yang kami ketahui pada saat usianya menginjak dua tahun. Saat itu kemampuan bicaranya tidak keluar sama sekali, kalau minta apa-apa ia hanya mengarahkan tangan kami ke benda yang ia inginkan. Bila benda yang diberikan tidak sesuai maka ia akan marah dan tantrum (nangis hebat). Ia juga selalu bergerak dan berlarian ke sana ke mari tiada henti tanpa merasa capek.Dia baru bisa mengucapkan kata-kata ”mama,” ”bapak,” dan ”apa” dengan jelas pada usia lima tahun tiga bulan. Itu pun setelah mencoba berbagai macam terapi selama bertahun-tahun. Dan ternyata, Applied Behavior Analyis atau ABA, menjadi terapi yang sangat vital bagi perkembangan kemampuan bicaranya.
Pada metode ABA ini, Dhani duduk berhadapan dengan terapis utama. Terapis pembantu atau prompter duduk di belakangnya yang bertugas untuk mengarahkan perintah dari terapis utama. Pada mulanya instruksi yang diberikan hanya instruksi sederhana seperti memegang anggota tubuh atau menirukan gerakan seperti tepuk tangan, da-da dan salaman.

Latihan lainnya adalah dengan menggunakan kartu bergambar atau flash cards. Awalnya mengajarkan kartu bergambar anggota tubuh, buah-buahan dan hewan, disamping foto diri anak dan anggota keluarga juga diperkenalkan. Contoh latihan yang dilakukan yaitu terapis meletakkan foto anak di atas meja dan menyuruh anak untuk memegang foto itu, pada awalnya anak akan menolak dan tugas prompterlah mengarahkan tangan anak untuk memegangnya. Foto itu juga diletakkan secara random yaitu di atas,di bawah, samping kanan dan samping kiri tujuannya agar anak konsisten. Kegiatan semacam ini disebut dengan table top activites. Pada awal latihan biasanya anak akan menolak dan menangis, terapis harus pandai mencari sela dan mengambil hati anak agar mau melakukan.

Proses ini cukup memakan waktu lama karena para penyandang autis memiliki kesulitan dalam memahami perintah. Waktu yang ideal untuk melakukan terapi ini menurut literatur ABA adalah 20 sampai 40 jam per seminggu. Setiap hari Senin sampai Jumat selama empat jam dan berlangsung hampir satu tahun barulah Dhani menunjukkan kemajuan. Kemajuan ia bisa melakukan kegiatan tepuk tangan, salaman maupun da-da secara konsisten dan mandiri. Terapis akan memberikan nilai “prompt” apabila anak masih dipandu oleh prompter atau terapis utama masih mengarahkan tangan anak ketika anak tidak merespon pada sesi terapi yang tidak menggunakan prompter. Penggunaan prompter ini juga tidak mutlak, bila terapis dapat mengatasi anak prompter tidak diperlukan. Prompter diperlukan bila anak masih sering tantrum. Bila anak kadang bisa atau tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan maka anak diberi nilai “belum konsisten”. Dan bila anak dapat melakukan sesuatu yang diperintahkan secara konsisten tanpa prompt maka anak akan mendapatkan nilai “bisa atau mandiri”.

Penggunaan reward atau hadiah harus dilakukan pada metoda ini agar anak termotivasi untuk belajar. Makanan, minuman,mainan maupun aktivitas yang menyenangkan dapat menjadi reward bagi penyandang autis pemula. Reward sosial yang berupa pujian seperti kata “hebat”, “pandai” atau gerakan mengacungkan jempol serta toss dilakukan bila reward di atas sudah tidak mempan lagi. Terapis, orang tua maupun pengasuh harus sering mencari dan mengamati sesuatu yang dapat menjadi reward baru, karena seringkali sesuatu yang saat ini berhasil menjadi reward bisa jadi gagal di kemudian hari.

One on One atau satu orang terapis menangani satu orang anak mutlak dilakukan pada metode ini. Disebabkan para penyandang autis kesulitan dalam memahami sesuatu. Proses latihan pemahaman ini dinamakan bahasa reseptif, yang harus diajarkan dahulu sebelum mengajarkan bahasa ekspresif atau bahasa verbal. Mengingat bahasa ekspresif lebih sulit diajarkan kepada para penyandang autis, bila pada awalnya mereka tidak memiliki kemampuan bicara sama sekali.

ABA adalah satu proses sistematis pembelajaran dan modifikasi perilaku yang dapat diamati dengan memanipulasi lingkungan. Sistematis karena ABA mengajaran hal yang paling sederhana sampai ke hal yang paling sulit. Sedangkan memanipulasi lingkungan adalah anak harus melakukan sesuatu yang diperintahkan baru ia akan mendapatkan apa yang ia inginkan. Contohnya anak harus mau tepuk tangan dulu baru ia mendapatkan donat. Ole Ivar Lovas psikolog dari UCLA yang pertama kali menerapkan prinisp ABA untuk mengintervensi individu penyandang autis baik anak-anak maupun dewasa. Sebagai salah satu metode yang paling umum, sudah terbukti dan paling banyak digunakan untuk mengintervensi autisma.

Pendekatan ABA mengajarkan keterampilan sosial, kognitif, motorik dan kemampuan bantu diri. Metode ini berguna untuk mengajarkan suatu perilaku kepada para penyandang autis yang tidak dapat meniru suatu perilaku secara spontan. Terapi ini mengajarkan kemampuan itu melalui penggunaan observasi perilaku secara seksama dan imbalan positif, prompt (bantuan) untuk mengajarkan tiap tahap dari suatu perilaku. Metode ini membutuhkan latihan intensif oleh terapis, waktu yang lama (20 sampai 40 jam per minggu) dan bimbingan mingguan oleh terapis klinis yang berpengalaman dikenal sebagai Board Certified Behavior Analyst.

Sampai saat ini di Indonesia belum ada terapis yang bergelar Board Certified Behavior Analyst (BCBA) atau Board Certified Associate Behavior Analyst (BCABA). Terapis yang ada saat ini mempelajari ABA hanya dari kursus maupun dari seminar yang diselenggarakan oleh YAI (Yayasan Autisme Indonesia) atau pusat terapi autis.

Metode ABA diperkenalkan ke Indonesia oleh beberapa dokter anak yang mendalami masalah autisme. Mereka memiliki anak autis, sehingga dapat merasakan kesulitan yang dihadapi orang tua yang mempunyai anak autis. Melalui Yayasan Autisme Indonesia, mereka berusaha membantu orang tua penyandang autis untuk mendapatkan informasi dan pengobatan yang benar. Mereka membukakan mata orang tua agar tak mudah percaya pada pengobatan alternatif yang menjanjikan untuk menyembuhkan autis. Adalah suatu kenyataan yang harus diterima bahwa autis adalah gangguan seumur hidup atau lifelong disabilities sehingga tak dapat disembuhkan. Autis bukanlah penyakit tapi neurodevelopmental disorder.

Neurodevelopmental disorder atau gangguan perkembangan syaraf yang dimiliki oleh penyandang autis membuat mereka kesulitan dalam berkomunikasi dan berinteraksi, berperilaku aneh dan tenggelam dalam dunianya sendiri. ABA dengan metode yang sistematis,tegas dan konsisten mengajarkan anak untuk sadar terhadap dirinya sendiri dan lingkungan di sekitaranya serta berinterkasi dan berkomunikasi dengan orang lain baik secara verbal maupun nonverbal. 80% penyandang autis dapat berkomunikasi secara verbal atau lisan, sedangkan sisanya bisu atau berkomunikasi dengan Komunikasi Augmentatif seperti bahasa isyarat, Communication Device seperti Handpone maupun PECS (Picture Exchange Communication Systems) Sistem Komunikasi dengan menukar kartu. Bila anak ingin main bola maka ia dapat memberikan kartu gambar bola kepada orang tua atau pengasuh.

Sampai saat ini di Indonesia belum ada data yang akurat tentang jumlah penyandang autis. Di Yayasan Autisme Indonesia pun demikian mereka kesulitan mendapatkan data jumlah penyandang autis. Banyaknya jumlah penyandang autis yang tidak diketahui sendiri oleh orang tua maupun perasaan malu atau aib memiliki anak penyandang autis menyulitkan YAI atau Rumah Sakit untuk mendapatkan data mereka. Namun lembaga sensus Amerika Serikat melaporkan pada tahun 2004 jumlah anak dengan ciri-ciri autistik di Indonesia mencapai 475.000 orang (Kompas 20 Juli 2005).

Kurangnya tenaga terapis yang berpengalaman juga menyebabkan biaya tinggi untuk mendapatkan terapi ini. Hanya beberapa Universitas Negeri yang memiliki jurusan Pendidikan Luar Biasa. Meskipun lulusan Psikologi juga ada yang menjadi terapis tapi jumlahnya tidak seberapa, karena profesi ini berbeda dengan profesi lainnya. Harus siap mental dan fisik untuk menjadi terapis, rela dipukul,dijambak, maupun dicubit dan ditendang oleh penyandang autis adalah makanan sehari-hari bagi para terapis. Sehingga hanya orang-orang berduit saja yang mampu untuk memenuhi 20 jam atau 40 jam terapi perminggu. Satu orang terapis menangani satu orang anak dalam satu ruangan yang menyebabkan biaya operasional suatu pusat terapi membengkak.

Disamping buku-buku dan materi yang dipergunakan juga didatangkan dari luar negeri. Mengingat di Indonesia belum banyak pakar seperti Psikolog,Pedagog, Orthopedagog ataupun ahli Wicara Patologis yang mendalami masalah ini sehingga para pemilik terapi sering mencari ahli tersebut ke luar negeri. Saat ini hampir semua center/pusat terapi menerapkan uang member bagi para murid baru, enam bulan, satu tahun atau dua tahun. Untuk enam bulan dikenakan biaya Rp 750 ribu belum termasuk biaya SPP bulanan yang tergantung dari berapa jam yang diambil. Contohnya bila sehari dua jam terapi, seminggu tiga kali maka akan dikenakan biaya Rp 750 ribu per bulan. Bagi keluarga sederhana biaya terapi sebesar itu tentulah sangat mahal. Sementara di RS Pemerintah untuk tiap kali terapi selama 45 menit dikenakan biaya Rp 30 ribu sayangnya tidak semua Rumah Sakit Pemerintah memiliki layanan ini dan terbatasnya ruang terapi dan terapis yang tersedia.

Para orang tua juga dapat mempelajari metode ini namun dibutuhkan waktu, tenaga dan konsistensi. Sayangnya banyak orang tua yang tak dapat memenuhinya dengan alasan mereka juga mencari nafkah untuk keluarga. Di Amerika orang tua bisa mendapatkan terapi ini secara gratis karena dicover oleh asuransi dan disediakan oleh Pemerintah dan hal ini tidak terjadi di Indonesia. Mengingat terapi ini juga harus dilakukan secara berkesinambungan rasanya peran Pemerintah sangat mutlak diperlukan karena naiknya angka para penyandang autis tiap tahun.

Setelah Dhani mejalankan terapi ABA dari umur 3 tahun sampai saat ini usia 6 tahun 7 bulan. Ia mendapatkan kemajuan yang signifikan, sudah verbal, cerewet, bisa membaca kalimat sederhana, berhitung sederhana dan mengikuti pendidikan mainstream yaitu sekolah di TK B reguler. Walaupun masih didampingi oleh Shadow/guru pendamping yang mendampinginya di saat ia mengerjakan tugas, bila tidak sedang mengerjakan tugas shadow menunggu di luar. Hal ini dilakukan agar Dhani dapat bersosialisasi dengan teman-temannya dan menanamkan kemandirian.

Meskipun suamiku bekerja di Gosowong, Halmahera Maluku Utara kami tetap kompak dalam mendidik Dhani untuk mendapatkan terapi yang terbaik dan komprehensif. Walau ia tidak terlibat secara langsung dengan program belajar yang aku buat dan pilih tapi kami tetap berkomunikasi sehingga ia mengetahui juga perkembangan yang terjadi. Kami mendatangkan terapis ke rumah untuk mengajar Dhani selama aku bekerja. Kami bekerja sama membuat program yang akan diajarkan kepada Dhani baik itu secara akademik, kognitif, perilaku dan kemampuan bantu diri. Pengasuh Dhani juga kami ajarkan untuk memperlakukan Dhani dengan baik dan tidak mengistimewakannya karena kekhususannya. Menggangap Dhani sama seperti anak normal, karena apabila kami mengistimewakan perlakukan kepadanya usaha kami untuk membuatnya berperilaku normal akan sia-sia saja.

Intervensi Dini

Setelah anak menerima diagnosa dari dokter anak, atau psikiater. Segeralah untuk melakukan early intervention atau intervensi dini. Intervensi dini bisa dimulai dengan pembuatan yaitu suatu program yang memuat aktivitas apa yang akan diajarkan kepada anak.Program tersebut biasanya meliputi kognitif, akademik,sosialiasi,kemampuan bantu diri dan motorik. Buku yang dapat dijadikan acuan untuk membuat IEP/ Individualized Education ProgramIEP adalah ABLLS (Assessment Basic Language and Learning Skills) by Mark Sundberg & James Partington.

Sebelum membuat IEP orang tua, terapis dan pengasuh mengamati kelemahan dan kelebihan anak agar program yang dirancang sesuai dengan kebutuhannya.Disamping kebutuhan masing-masing individu autistik juga unik sehingga program yang dibuat tidak bisa sama atau seragam.

Intervensi dini ini sangat penting mengingat anak dapat berkembang sesuai dengan potensinya dan meningkatkan Quality of Life atau Kulaitas hidup anak.Apalagi usia 0sampai 5 tahun adalah usia emas atau Golden Age anak dimana otak anak berkembang sangat pesat.Disamping intervensi dini telah terbukti secara klinis bagi anak untuk berkembang layaknya teman-teman sebayanya. Apalagi bila anak mampu menggapai Milestone maupuan Developmental Ladder (tangga perkembangan).

Treatment dan Therapy


Saat ini ada bermacam-macam treatment dan terapi yang ditawarkan kepada penyandang autis, baik itu yang ilmiah,alternatif maupun psudoscience atau semu ilmiah. Tidak ada terapi yang paling baik, semua terapi saling menunjang dan melengkapi.Yang harus diingat tidak ada obat atau treatment yang DAPATMENYEMBUHKAN autisme, karena autisme bukan PENYAKIT. So waspadalah...

Terapi yang umum dilakukan adalah :
Intervensi Perilaku dan Pendidikan
Pengobatan Alternative dan Pelengkap/Komplementer
Perubahan Diet
Medikasi

Intervensi Perilaku dan Pendidikan meliputi:

* Applied behavior analysis (ABA) atau Terapi Perilaku
o Discrete trial training (DTT)
o Early intensive behavioral intervention (EIBI)
o Incidental teaching
o Pivotal response training (PRT)
o Verbal behavior intervention (VBI)
* Developmental, individual differences, relationship-based approach (DIR also called Floortime)
* Relationship development intervention (RDI)
* Treatment and education of autistic and communication- related handicapped children (TEAACH)

Terapi- terapi penunjang lainnya:

* Occupational therapy atau Terapi Okupasi
* Sensory integration therapy
* Speech therapy
* The Picture Exchange Communication System (PECS)
* Social Story atau Visual Supports

Pengobatan Alternative dan Pelengkap
Tidak ada obat untuk menyembuhkan autisme.Beberapa pengobatan yang dianggap sebagai pengobatan alternatif dan pelengkap adalah diet khusus, kelasi (suatu pengobatan yang mengeluarkan logam berat seperti timbal dari dalam tubuh), secara biologis (seperti secretin), atau sistem yang berbasis tubuh (seperti deep pressure).

Menurt NIH’s National Center for Complementary and Alternative Medicine (NCCAM) beberapa pengobatan alternatif yang dibagi kedalam lima kategori:

1. Sistem Medis Alternative (contoh, homeopathy atau pengobatan China)
2. Intervensi pikiran-tubuh (contoh, meditasi, dance therapy, auditory integration)
3. Terapi yang berdasarkan biologis (misal,menggunakan herbal,makanan,dan vitamin)
4. Metode manipulative dan berbasis tubuh (misal, deep pressure, terapi craniosacral)
5. Terapi Energy (misal, reiki, gelombang electromagnetic)

Mengingat terapi alternative dan pelengkap ini belum FDA Approved, Evidence based Medicine maupun Evidence Based Practice. Pertimbangan masak-masak sebelum menjalanninya, apalagi efek yang terjadi pada tiap anak tidak sama dan anak BUKAN KELINCI PERCOBAAN.

Perubahan Diet
Dalam intervensi biomedis melakukan perubahan dalam diet. Perubahan tersebut meliputi pengeluaran jenis-jenis makanan tertentu dari diet anak dan menggunakan vitamin atau supplement mineral. Treatment diet ini berdasarkan asumsi kalau alergi makanan menyebabkan gelaja autis atau kurangnya asupan vitamin atau mineral tertentu dapat menyebabkan beberapa gejala autisme. Beberapa orang tua merasa kalau perubahan dalam diet membuat suatu perbedaan bagaimana anak merasa dan bertindak.Contoh diet adalah GFCFSF yaitu casein, gluten, soy dan sugar free. Anak tidak diperkenankan makan makanan yang mengandung bahan-bahan tersebut beserta produk turunannya.

Medikasi
Tidak ada obat yang dapat mengobati gangguan spektrum autis atau mengobata gejala utama yang menyebabkan gangguan— yaitu, komunikasi, sosialisasi, dan perilaku repetitive atau tak lazim. Tetapi medikasi dapat membantu beberapa gejala autisme pada beberapa orang. Contohnya, medikasi dapat membantu seseorang yang memiliki tingkat energi yang tinggi, tidak dapat fokus, depresi, atau kejang. U.S. Food and Drug Administration juga telah menyetujui penggunaan risperidone atau risperdal (obat penenang atau antidepressan) untuk digunakan pada penyandang autis yang berusia 5 sampai 16 tahun yang memiliki tantrum parah, agresif, dan perilaku menyakiti diri sendiri atau Self Injured Behavior.

Autism Spectrum Disorder

Autisme adalah satu dari sekelompok gangguan yang dikenal sebagai gangguan spektrum autis (Autism Spectrum Disorder).
Autisme adalah gangguan perkembangan otak yang memiliki ciri hambatan dalam interaksi sosial, komunikasi serta perilaku terbatas dan repetitif atau berulang. Perilaku itu semua ditunjukkan anak sebelum berusia tiga tahun,atau autisme dapat didiagnosa lebih dini pada usia 18 bulan.

Umumnya penyandang autisme memiliki kesulitan dalam berkomunikasi verbal dan non-verbal, interaksi sosial, serta saat santai atau aktivitas bermain. Penyandang autis kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang lain dan berhubungan dengan dunia luar. Pada beberapa kasus, muncul perilaku agresif dan menyakiti diri sendiri. Penyandang autis juga menunjukkan gerakan anggota tubuh secara berulang (mengepakkan tangan, atau berayun), respon yang tak lazim terhadap orang lain atau benda dan tidak suka akan perubahan terhadap rutinitas. Mereka sensitif terhadap panca indera yaitu penglihatan, pendengaran, sentuhan, bau dan rasa


Pada tahun 1943 Dr.Leo Kanner dari RS. John Hopkins memperkenalkan istilah autisme pada masa kanak atau autisme infantil. Pada tahun yang sama Dr.Hans Asperger seorang psikiater anak berkebangsaan Austria menjelaskan satu bentuk gangguan autisme yang lebih ringan yang kemudian disebut dengan sindrom Asperger.
Kedua gangguan atau disorder ini terdata pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders DSM-IV-TR (edisi keempat, text revision) dan The International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems 10th Revision (ICD-10).
ASD meliputi gangguan autistik, gangguan perkembangan pervasive - not otherwise specified (PDD-NOS, meliputi autisme atypical), dan Sindrom Asperger.

Penyebab
Penyebab autisme tidak diketahui secara pasti. Beberapa ahli mengatakan penyebab autisme adalah faktor genetik, sementara ahli yang lain mengatakan keracunan logam berat dan faktor lingkungan sebagai penyebabnya. Autisme tidak dapat disembuhkan, tapi dapat diberikan treatment untuk mengendalikan dan mengurangi gejala, Treatment tersebut meliputi terapi perilaku dan komunikasi serta obat-obatan.

Perangkat Diagnosa

Beberapa perangkat diagnosa yang dapat dipergunakan yaitu. Dua diantaranya umum digunakan dalam riset autisme: The Autism Diagnostic Interview-Revised (ADI-R) adalah wawancara semi struktur dengan orang tua, dan The Autism Diagnostic Observation Schedule (ADOS) menggunakan pengamatan dan interaksi dengan anak. The Childhood Autism Rating Scale (CARS) digunakan secara luas dilingkungan klinis untuk menilai tingkat keparahan autisme berdasarkan observasi pada anak.

Statistik Gangguan Spektrum Autistik:
* Diperkirakan terjadi sebanyak 1 dari 500 orang (Centers for Disease Control and Prevention 1997).
* Autisme 4 kali lebih banyak disandang oleh anak laki-laki dari pada anak perempuan dan tidak memandang ras, etnik maupun status sosial.
* Pendapatan keluarga, gaya hidup dan tingkat pendidikan tidak mempengaruhi peluang untuk terjadinya autisme.
*Mengingat tingginya prevalansi, autisme menjadi salah satu gangguan perkembangan umum. Meskipun demikian sebagian besar publik, termasuk para profesional dibidang medis, pendidikan, serta pendidikan kejuruan masih kurang tahu bagaimana autisme dapat terjadi dan bagaimana mereka dapat bekerja secara efektif dengan penyandang autisme.
* Menurut the National Institutes of Health (NIH):
o Autisme terjadi pada 1 bayi dalam 150 kelahiran
o Bila rentang penuh gangguan autis dimasukkan, jumlahnya mungkin lebih dari 22 per 10,000 bayi
o Autisme lebih sering terjadi dari pada Down Syndrome, Childhood Cancer, Cystic Fibrosis or Multiple Sclerosis
o Saat ini autisme diakui menjadi gangguan perkembangan umum ketiga.

Deteksi Dini

Jangan terlena bila anak laki-laki saat usai 2 tahun belum bicara sama sekali. Jangan sekali-kali mengatakan "Ah nggak apa-apa, anak laki-laki biasanya ngomongnya suka telat!".
Jangan juga langsung menuduh Autis bila bila anak usia 2 tahun belum bicara, mungkin anak hanya telat ngomong atau bahasa kerennya "SPEECH DELAY".

Deteksi dini diperlukan bagi orang tua, praktisi kesehatan untuk melihat apakah anak memiliki autism trait. M-CHAT atau Modified Checklist for Autism in Toddlers (M-CHAT) Form adalah Daftar isian ceklist bagi anak-anak yang dicurigai mengalami gangguan autis pada masa kanak yang telah dimodifikasi. M-CHAT ini dibuat oleh Diana Robins, Deborah Fein, & Marianne Barton . M-CHAT digunakan untuk men-skrining anak dari usia 16 bulan sampai 30 bulan.

23 Pertanyaan Ya/Tidak dalam M-CHAT adalah:
  1. Apakah anak senang diayun, nggandol pada kaki anda?
  2. Apakah anak tertarik dengan anak lain?
  3. Apakah anak senang memanjat, seperti manjat tangga?
  4. Apakah senang main ciluk-ba atau petak umpet?
  5. Apakah anak pernah berpura-pura misal menelpon, bermain boneka, atau berpura-pura dengan benda lain?
  6. Apakah anak pernah menggunakan jari telunjuk untuk menunjuk atau untuk meminta sesuatu?
  7. Apakah anak pernah menggunakan jari untuk menunjuk, yang menunjukkan anak tertarik terhadap sesuatu?
  8. Dapatkah anak bermain secara wajar dengan mainan kecil (misal mobil atau balok) tanpa memasukkannya ke mulut, atau menjatuhkannya?
  9. Apakah anak pernah membawa benda kepada anda (orang tua) untuk menunjukkan sesuatu?
  10. Apakah anak menatap mata anda lebih dari satu atau dua detik?
  11. Apakah anak pernah terlihat terlalu sensitif terhadap suara? (misal, menutup telinga)
  12. Apakah anak tersenyum sebagai respon terhadap anda atau senyum anda?
  13. Apakah anak dapat meniru anda? (misal, anda membentuk wajah lucu-akankah anak menirunya?)
  14. Apakah anak merespon ketika anda memanggilnya?
  15. Bila anda menunjuk suatu mainan diseberang ruangan, apakah anak melihatnya?
  16. Apakah anak dapat berjalan?
  17. Apakah anak melihat sesuatu yang sedang anda lihat?
  18. Apakah anak membuat gerakan jari yang tak lazim didekat wajahnya?
  19. Apakah anak mencoba menarik perhatian anda dengan aktivitas yang dilakukannya?
  20. Apakah anda mencurigai kalau anak tuli?
  21. Apakah anak memahami apa yang dikatakan orang lain?
  22. Apakah kadang-kadang anak terbelalak atau berkeliling tanpa tujuan?
  23. Apakah anak menatap wajah anak untuk mengecek reaksi anda ketika bereaksi dengan sesuatu yang tak familiar?

Helpful Hints

Petunjuk untuk berinteraksi dengan penyandang autis:
  • Bicaralah dengan pelan dan gunakan bahasa sederhana
  • Gunakan istilah kongkrit
  • Ulangi pertanyaan sederhana
  • Berikan waktu untuk menjawab
  • Berikan pujian
  • Jangan mencoba untuk membendung perilaku stimulasi diri secara fisik
  • Harap diingat kalau tiap-tiap penyandang autisme adalah unik dan dapat berpilaku beda dengan penyandang yang lain

Children & adult with autism may

  • Tidak mengerti apa yang anda katakan
  • Tampak tuli
  • TIdak dapat berbicara atau sulit bicara
  • Melakukan tindakan repetitif/berulang
  • Putus asa tanpa alasan yang jelas
  • Kebal terhadap rasa sakit
  • Tampak cemas atau gugup
  • Melakukan perilaku stimulasi diri (seperti, mengepak-ngepakan tangan atau berayun)
Ciri-ciri penyandang autis adalah:
  • Tidak bermain permainan "pura-pura" (pura-pura memberi "makan" pada boneka)
  • Tidak menunjuk pada objek untuk menunjukkan minat ( menunjuk pesawat yang sedang terbang)
  • Tidak melihat objek ketika diperlihatkan kepadanya
  • Memiliki kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau tidak memiliki minat terhadap orang lain sama sekali
  • Menghindari kontak mata dan ingin sendiri
  • Kesulitan dalam memahami perasaan orang lain atau berbicara mengenai perasannya.
  • Tidak suka dipeluk atau dibelai atau mau dibelai ketika menginginkanya
  • Tampak tidak acuh ketika orang lain membicarakannya tapi merespon terhadap suara lain.
  • Sangat tertarik terhadap orang lain, tapi tidak tahu bagaimana berbicara, bermain atau berhubungan dengan mereka.
  • Mengulangi atau membeo kata atau frasa yang diucapkan kepada mereka, atau mengulangi kata-kata dan frasa dengan bahasa formal (echolalia)
  • Kesulitan dalam mengekspresikan kebutuhan nya dengan menggunakan kata-kata atau gerakan yang lazim
  • Mengulangi aksi terus-menerus
  • Kesulitan dalam beradaptasi pada perubahan rutinitas
  • Memiliki reaksi yang tak lazim pada bau, aroma, rupa, rasa atau suara benda.
  • Kehilangan kemampuan yang telah dikuasai (contohnya, berhenti mengucapkan kata-kata yang dulu pernah mereka ucapkan)