Rabu, 10 Oktober 2007

Korban Iklan

“Buka telepo biaca,” bibir mungil Dhani mengucap kalimat yang ia baca pada spanduk iklan yang ada di Wartel di seberang kami membeli martabak. Aku tersenyum mendengar ia mengucapkan kalimat itu. Rasanya tak percaya, dahulu untuk membuat mulutnya mengucapkan bunyi “a” saja sulitnya minta ampun. Sekarang sembarang kata yang ia lihat, baik itu di TV atau iklan di jalanan maupun nomer rumah, dengan lahap dibacanya.

Dhani, anak laki-laki kami, adalah seorang penyandang autistik, yang kami ketahui pada saat usianya menginjak dua tahun. Saat itu kemampuan bicaranya tidak keluar sama sekali, kalau minta apa-apa ia hanya mengarahkan tangan kami ke benda yang ia inginkan. Bila benda yang diberikan tidak sesuai maka ia akan marah dan tantrum (nangis hebat). Ia juga selalu bergerak dan berlarian ke sana ke mari tiada henti tanpa merasa capek.Dia baru bisa mengucapkan kata-kata ”mama,” ”bapak,” dan ”apa” dengan jelas pada usia lima tahun tiga bulan. Itu pun setelah mencoba berbagai macam terapi selama bertahun-tahun. Dan ternyata, Applied Behavior Analyis atau ABA, menjadi terapi yang sangat vital bagi perkembangan kemampuan bicaranya.
Pada metode ABA ini, Dhani duduk berhadapan dengan terapis utama. Terapis pembantu atau prompter duduk di belakangnya yang bertugas untuk mengarahkan perintah dari terapis utama. Pada mulanya instruksi yang diberikan hanya instruksi sederhana seperti memegang anggota tubuh atau menirukan gerakan seperti tepuk tangan, da-da dan salaman.

Latihan lainnya adalah dengan menggunakan kartu bergambar atau flash cards. Awalnya mengajarkan kartu bergambar anggota tubuh, buah-buahan dan hewan, disamping foto diri anak dan anggota keluarga juga diperkenalkan. Contoh latihan yang dilakukan yaitu terapis meletakkan foto anak di atas meja dan menyuruh anak untuk memegang foto itu, pada awalnya anak akan menolak dan tugas prompterlah mengarahkan tangan anak untuk memegangnya. Foto itu juga diletakkan secara random yaitu di atas,di bawah, samping kanan dan samping kiri tujuannya agar anak konsisten. Kegiatan semacam ini disebut dengan table top activites. Pada awal latihan biasanya anak akan menolak dan menangis, terapis harus pandai mencari sela dan mengambil hati anak agar mau melakukan.

Proses ini cukup memakan waktu lama karena para penyandang autis memiliki kesulitan dalam memahami perintah. Waktu yang ideal untuk melakukan terapi ini menurut literatur ABA adalah 20 sampai 40 jam per seminggu. Setiap hari Senin sampai Jumat selama empat jam dan berlangsung hampir satu tahun barulah Dhani menunjukkan kemajuan. Kemajuan ia bisa melakukan kegiatan tepuk tangan, salaman maupun da-da secara konsisten dan mandiri. Terapis akan memberikan nilai “prompt” apabila anak masih dipandu oleh prompter atau terapis utama masih mengarahkan tangan anak ketika anak tidak merespon pada sesi terapi yang tidak menggunakan prompter. Penggunaan prompter ini juga tidak mutlak, bila terapis dapat mengatasi anak prompter tidak diperlukan. Prompter diperlukan bila anak masih sering tantrum. Bila anak kadang bisa atau tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan maka anak diberi nilai “belum konsisten”. Dan bila anak dapat melakukan sesuatu yang diperintahkan secara konsisten tanpa prompt maka anak akan mendapatkan nilai “bisa atau mandiri”.

Penggunaan reward atau hadiah harus dilakukan pada metoda ini agar anak termotivasi untuk belajar. Makanan, minuman,mainan maupun aktivitas yang menyenangkan dapat menjadi reward bagi penyandang autis pemula. Reward sosial yang berupa pujian seperti kata “hebat”, “pandai” atau gerakan mengacungkan jempol serta toss dilakukan bila reward di atas sudah tidak mempan lagi. Terapis, orang tua maupun pengasuh harus sering mencari dan mengamati sesuatu yang dapat menjadi reward baru, karena seringkali sesuatu yang saat ini berhasil menjadi reward bisa jadi gagal di kemudian hari.

One on One atau satu orang terapis menangani satu orang anak mutlak dilakukan pada metode ini. Disebabkan para penyandang autis kesulitan dalam memahami sesuatu. Proses latihan pemahaman ini dinamakan bahasa reseptif, yang harus diajarkan dahulu sebelum mengajarkan bahasa ekspresif atau bahasa verbal. Mengingat bahasa ekspresif lebih sulit diajarkan kepada para penyandang autis, bila pada awalnya mereka tidak memiliki kemampuan bicara sama sekali.

ABA adalah satu proses sistematis pembelajaran dan modifikasi perilaku yang dapat diamati dengan memanipulasi lingkungan. Sistematis karena ABA mengajaran hal yang paling sederhana sampai ke hal yang paling sulit. Sedangkan memanipulasi lingkungan adalah anak harus melakukan sesuatu yang diperintahkan baru ia akan mendapatkan apa yang ia inginkan. Contohnya anak harus mau tepuk tangan dulu baru ia mendapatkan donat. Ole Ivar Lovas psikolog dari UCLA yang pertama kali menerapkan prinisp ABA untuk mengintervensi individu penyandang autis baik anak-anak maupun dewasa. Sebagai salah satu metode yang paling umum, sudah terbukti dan paling banyak digunakan untuk mengintervensi autisma.

Pendekatan ABA mengajarkan keterampilan sosial, kognitif, motorik dan kemampuan bantu diri. Metode ini berguna untuk mengajarkan suatu perilaku kepada para penyandang autis yang tidak dapat meniru suatu perilaku secara spontan. Terapi ini mengajarkan kemampuan itu melalui penggunaan observasi perilaku secara seksama dan imbalan positif, prompt (bantuan) untuk mengajarkan tiap tahap dari suatu perilaku. Metode ini membutuhkan latihan intensif oleh terapis, waktu yang lama (20 sampai 40 jam per minggu) dan bimbingan mingguan oleh terapis klinis yang berpengalaman dikenal sebagai Board Certified Behavior Analyst.

Sampai saat ini di Indonesia belum ada terapis yang bergelar Board Certified Behavior Analyst (BCBA) atau Board Certified Associate Behavior Analyst (BCABA). Terapis yang ada saat ini mempelajari ABA hanya dari kursus maupun dari seminar yang diselenggarakan oleh YAI (Yayasan Autisme Indonesia) atau pusat terapi autis.

Metode ABA diperkenalkan ke Indonesia oleh beberapa dokter anak yang mendalami masalah autisme. Mereka memiliki anak autis, sehingga dapat merasakan kesulitan yang dihadapi orang tua yang mempunyai anak autis. Melalui Yayasan Autisme Indonesia, mereka berusaha membantu orang tua penyandang autis untuk mendapatkan informasi dan pengobatan yang benar. Mereka membukakan mata orang tua agar tak mudah percaya pada pengobatan alternatif yang menjanjikan untuk menyembuhkan autis. Adalah suatu kenyataan yang harus diterima bahwa autis adalah gangguan seumur hidup atau lifelong disabilities sehingga tak dapat disembuhkan. Autis bukanlah penyakit tapi neurodevelopmental disorder.

Neurodevelopmental disorder atau gangguan perkembangan syaraf yang dimiliki oleh penyandang autis membuat mereka kesulitan dalam berkomunikasi dan berinteraksi, berperilaku aneh dan tenggelam dalam dunianya sendiri. ABA dengan metode yang sistematis,tegas dan konsisten mengajarkan anak untuk sadar terhadap dirinya sendiri dan lingkungan di sekitaranya serta berinterkasi dan berkomunikasi dengan orang lain baik secara verbal maupun nonverbal. 80% penyandang autis dapat berkomunikasi secara verbal atau lisan, sedangkan sisanya bisu atau berkomunikasi dengan Komunikasi Augmentatif seperti bahasa isyarat, Communication Device seperti Handpone maupun PECS (Picture Exchange Communication Systems) Sistem Komunikasi dengan menukar kartu. Bila anak ingin main bola maka ia dapat memberikan kartu gambar bola kepada orang tua atau pengasuh.

Sampai saat ini di Indonesia belum ada data yang akurat tentang jumlah penyandang autis. Di Yayasan Autisme Indonesia pun demikian mereka kesulitan mendapatkan data jumlah penyandang autis. Banyaknya jumlah penyandang autis yang tidak diketahui sendiri oleh orang tua maupun perasaan malu atau aib memiliki anak penyandang autis menyulitkan YAI atau Rumah Sakit untuk mendapatkan data mereka. Namun lembaga sensus Amerika Serikat melaporkan pada tahun 2004 jumlah anak dengan ciri-ciri autistik di Indonesia mencapai 475.000 orang (Kompas 20 Juli 2005).

Kurangnya tenaga terapis yang berpengalaman juga menyebabkan biaya tinggi untuk mendapatkan terapi ini. Hanya beberapa Universitas Negeri yang memiliki jurusan Pendidikan Luar Biasa. Meskipun lulusan Psikologi juga ada yang menjadi terapis tapi jumlahnya tidak seberapa, karena profesi ini berbeda dengan profesi lainnya. Harus siap mental dan fisik untuk menjadi terapis, rela dipukul,dijambak, maupun dicubit dan ditendang oleh penyandang autis adalah makanan sehari-hari bagi para terapis. Sehingga hanya orang-orang berduit saja yang mampu untuk memenuhi 20 jam atau 40 jam terapi perminggu. Satu orang terapis menangani satu orang anak dalam satu ruangan yang menyebabkan biaya operasional suatu pusat terapi membengkak.

Disamping buku-buku dan materi yang dipergunakan juga didatangkan dari luar negeri. Mengingat di Indonesia belum banyak pakar seperti Psikolog,Pedagog, Orthopedagog ataupun ahli Wicara Patologis yang mendalami masalah ini sehingga para pemilik terapi sering mencari ahli tersebut ke luar negeri. Saat ini hampir semua center/pusat terapi menerapkan uang member bagi para murid baru, enam bulan, satu tahun atau dua tahun. Untuk enam bulan dikenakan biaya Rp 750 ribu belum termasuk biaya SPP bulanan yang tergantung dari berapa jam yang diambil. Contohnya bila sehari dua jam terapi, seminggu tiga kali maka akan dikenakan biaya Rp 750 ribu per bulan. Bagi keluarga sederhana biaya terapi sebesar itu tentulah sangat mahal. Sementara di RS Pemerintah untuk tiap kali terapi selama 45 menit dikenakan biaya Rp 30 ribu sayangnya tidak semua Rumah Sakit Pemerintah memiliki layanan ini dan terbatasnya ruang terapi dan terapis yang tersedia.

Para orang tua juga dapat mempelajari metode ini namun dibutuhkan waktu, tenaga dan konsistensi. Sayangnya banyak orang tua yang tak dapat memenuhinya dengan alasan mereka juga mencari nafkah untuk keluarga. Di Amerika orang tua bisa mendapatkan terapi ini secara gratis karena dicover oleh asuransi dan disediakan oleh Pemerintah dan hal ini tidak terjadi di Indonesia. Mengingat terapi ini juga harus dilakukan secara berkesinambungan rasanya peran Pemerintah sangat mutlak diperlukan karena naiknya angka para penyandang autis tiap tahun.

Setelah Dhani mejalankan terapi ABA dari umur 3 tahun sampai saat ini usia 6 tahun 7 bulan. Ia mendapatkan kemajuan yang signifikan, sudah verbal, cerewet, bisa membaca kalimat sederhana, berhitung sederhana dan mengikuti pendidikan mainstream yaitu sekolah di TK B reguler. Walaupun masih didampingi oleh Shadow/guru pendamping yang mendampinginya di saat ia mengerjakan tugas, bila tidak sedang mengerjakan tugas shadow menunggu di luar. Hal ini dilakukan agar Dhani dapat bersosialisasi dengan teman-temannya dan menanamkan kemandirian.

Meskipun suamiku bekerja di Gosowong, Halmahera Maluku Utara kami tetap kompak dalam mendidik Dhani untuk mendapatkan terapi yang terbaik dan komprehensif. Walau ia tidak terlibat secara langsung dengan program belajar yang aku buat dan pilih tapi kami tetap berkomunikasi sehingga ia mengetahui juga perkembangan yang terjadi. Kami mendatangkan terapis ke rumah untuk mengajar Dhani selama aku bekerja. Kami bekerja sama membuat program yang akan diajarkan kepada Dhani baik itu secara akademik, kognitif, perilaku dan kemampuan bantu diri. Pengasuh Dhani juga kami ajarkan untuk memperlakukan Dhani dengan baik dan tidak mengistimewakannya karena kekhususannya. Menggangap Dhani sama seperti anak normal, karena apabila kami mengistimewakan perlakukan kepadanya usaha kami untuk membuatnya berperilaku normal akan sia-sia saja.

2 komentar:

ASEP MAHMUD YUNUS mengatakan...

Udah lama sekali ya mba postingannya, terapi metode ABA masih 750 ribu. Skrg paling murah 7 juta mba per bulan. Rasanya gak mungkin bisa mengikuti. Mba jika berkenan, bisakah memposting bagaimaba terapi dg metode ABA, ,

alia poetri mengatakan...

terapi ini saya ingin sekali ank saya utk ikut tetapi terkendala di biaya yg mahal, sekarang 8juta/bln, blm lg untuk biaya pelatihan terapis yg akan kita hire, minimal total harus ada uang 70 juta. Bagaimana dengan orang tua sprti kami yg terbatas dana jika biayany besar sekali