Selasa, 23 Oktober 2007

Bagian 2 Seminar Evolution of ABA

BAGIAN 2
Behavior Management (bagian ini yang sering tidak dilakukan dalam penerapan
Critical thinking & Possible interpretation/Berfikir kritis dan kemungkinan Interpretasi
Pada dasarnya kita harus berpikir secara kritis dalam menghadapi perilaku-perilaku anak, kemudian dari perilaku tsb., kita harus membuat interpretasi-2 kemungkinannya. Kebiasaan orang pada umumnya, selalu membuat 1 interpretasi, anak menangis -> oh tadi kurang tidur.

Berfikir kritis perlu dilatih. Misalnya:
Kejadian yang diamati:
1. Ibu mengatakan kepada John, ”Jika kamu tidak membawa payung, nanti akan hujan.”
2. John membawa payung
3. Tidak hujan.

Kemungkinan interpretasi:
1. Payung menghilangkan awan hujan.
2. Ibu John dapat memprediksi cuaca.
3. Membawa payung adalah perilaku yang bersifat takhayul.
4. Ini suatu kebetulan.

Contoh lain:
Observed Events:
1. Anak menunjukkan perilaku menganggu dan memiliki kemampuan bicara, bermain dan sosial yang terbatas.
2. Anak mulai terapi/ treatment.
3. Anak tampak berkembang.

Kemungkinan interpretasi:
1. Treatment/Terapi efektifk
2. Anak mendapatkan perhatian lebih.
3. Meningkatkan situasi terstruktur
4. Treatment/terapi kombinasi
5. Mengubah fasilitas kemajuan temporer.
6. Pengamatan bias.

Fondasi Behaviorisme
1. Analitic approach/Pendekatan analitik:
1. Perilaku yang dapat diamati/Observable behaviors
2. Defenisi objektif/Objective definition
3. Analisa kritis/Critical analysis
2. Behaviors are learned/Perilaku dapat dipelajari.

Bahwa semua perilaku dapat dipelajari, bagaimana mempelajarinya? Ya balik ke teori A-B-C (Antecedent-Behavior-Consequence). Kita harus hati-hati dalam memberikan konsekuensi/consequence atas suatu perilaku, karena consequence ini menentukan timbul/tidaknya kembali perilaku tsb di kemudian hari. Oleh karenanya sangat penting melakukan Functional Behavior Assessment (FBA) – apa tujuan anak itu berperilaku demikian., apakah tujuannya untuk attention/perhatian, avoidance/menghindar, isolation (ingin ditinggal sendiri), anger release/melepaskan rasa marah, self-stimulation/stimulasi diri dan communication/komunikasi. Misalnya kalau tujuan anak avoidance/menghindar, kemudian kita beri konsekuensi dengan ignoring/mengabaikan -> maka consequence yang kita berikan malah menunjang tujuan anak (reinforcing). Kalau anak ingin isolation, kita beri time-out juga akan me-reinforce anak mengulang kembali perilakunya.

Ada contoh video:
Seorang anak menangis teriak-teriak, oleh si terapis dicoba disodori berbagai mainan & makanan tetap menangis. Ternyata si anak ingin keluar dari kursi, oleh si terapis kemudian si anak tetap disuruh duduk, meski menangis menjerit-jerit, kemudian disuruh mengatakan “up”, begitu si anak mengatakan “up” dia boleh pergi, begitu keluar dari kursi, nangisnya langsung stop. Prosedur tsb. diulang kembali, si anak digandeng kembali ke kursi, dan nangis lagi, disuruh bilang “up”, begitu dia menirukan, diperbolehkan pergi -> anak belajar bahwa semakin cepat dia bilang “up” dia boleh pergi. Setelah anak sudah tenang, baru diselingi dengan pembelajaran.

Contoh lagi:
Ada seorang anak yang suka ngomong, apa saja diomongkan, menirukan percakapan iklan (omongan yang tidak bermakna).
Tahap 1: Anak & terapis duduk di meja, target “anak tidak melakukan nonsense talk/omongan ngawur selama 1 detik”, begitu anak diam dalam 1 detik, langsung diberi token di kotak tokennya, kalau gagal, token diambil kembali.
Tahap 2: Target waktu diperpanjang
Tahap 3: Anak diberi tugas, jika anak bisa melakukan tugasnya tanpa melakukan nonsense talk maka dia mendapat token. Setelah token terkumpul, ditukar dengan reward.

Tidak ada komentar: